Cari Blog Ini

Selasa, 10 Mei 2011

subjek pendidikan


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah segala puji dan syukur bagi Allah swt yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas kajian empirik sang tokoh yang merupakan tmata kuliahpsikologi agama.
Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada kekasih Allah SWT, yakni Nabi Muhammad saw, yang telah membawa umatnya menuju jalan yang lurus dan menjadi suri teladan yang dinanti-nantikan syafa’atnya.
Berkat petunjuk dan pertolongan Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan judul : Subyek Pendidikan Qs. Al –Fath 29 Dalam Tafsir Ibnu Katsir
Penulis menyadari bahwa inilah yang dapat penulis sajikan yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan yang diharapkan oleh pembaca.
Dalam menyelesaikan risalah ini banyak pihak yang dengan tulus dan ikhlas membimbing dan membantu penulis dalam pembuatan risalah ini.
Semua bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat membalasnya, semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang setimpal dan bantuan tersebut menjadi amal ibadah yang diterima oleh Allah SWT.
penyusun

Bab I
Pendahuluan
Setiap umat Islam tentu telah mengerti, di sertai dengan penuh kepercayaan, bahwa pribadi Rosululloh. Itu adalah seorang manusia biasa, hanya saja beliau di beri wahyu oleh Alloh swt dan menjadi utusan-Nya. Beliau adalah Nabi penutup dan sekaligus Rosul yang terakhir. Beliau diangkat menjadi utusan Alloh itu tidak untuk dipuji oleh sekalian umatnya, tidak untuk disanjung dan di junjung tinggi sampai setinggi langit, serta tidak untuk di dewa-dewakan, atau senantiasa di peringati hari lahirnya oleh segenap pengikutnya, tetapi untuk diikuti kepeminpinannya dalam urusan beriman kepada Alloh, untuk dituruti tuntunannya dalam hal cara beribadah kepada-Nya, serta untuk dicontoh akhlak dan budi pekertinya dalam cara bergaul dan bermasyarakat dengan manusia. Tentang hal itu, Alloh telah menyatakan dengan firman-Nya dalam beberapa ayat di dalam Al- Qur’an diantaranya :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( QS. Ali Imron :31 )

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab: 21 )
Ayat diatas jelas menunjukan bahwa Rosululloh saw. Itu ikutan atau suri tauladan yang baik bagi umat Islam. oleh sebab itu, jika kita sungguh-sungguh cinta, taat, dan patuh kepada Alloh, kita di perintahkan mengikuti beliau, dengan mengikuti kepeminpinan beliau itulah kita akan mendapat petunjuk. Tentunya sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan di Dunia dan di Akherat.


BAB II
SUBYEK PENDIDIKAN
DALAM SURAT AL FATH :29
محَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[1406]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.
A. Sekilas Sejarah Rosululloh Saw
Berasal-usul dari keluarga sederhana, Rosululloh menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di Dunia yaitu Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.
Rosululloh lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Rosulloh menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, beliau dibesarkan dalam situasi yang sederhana dan rendah hati. Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Rosululloh seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala beliau kawin dengan seorang janda berada yang bernama Siti Khodijah. Bagaimanapun, sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.
Umumnya, bangsa Arab saat itu tak memeluk agama tertentu kecuali penyembah berhala Di kota Mekkah ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Agama Yahudi dan Nasrani, dan besar kemungkinan dari merekalah Rosululloh untuk pertama kali mendengar perihal adanya satu Tuhan Yang Mahakuasa, yang mengatur seantero alam. Tatkala beliau berusia empatpuluh tahun, Nabi Muhammad yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa ini menyampaikan sesuatu kepadanya dan memilihnya untuk jadi penyebar kepercayaan yang benar.
Selama tiga tahun Muhammad hanya menyebar agama terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Baru tatkala memasuki tahun 613 dia mulai tampil di depan publik. Begitu dia sedikit demi sedikit punya pengikut, penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya, pembikin onar. Di tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, beliau hijrah ke Madinah, kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan.
Peristiwa hijrah ini merupakan titik balik penting bagi kehidupan Nabi. Di Mekkah beliau susah memperoleh sejumlah kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya makin bertambah sehingga dalam tempo cepat dia dapat memperoleh pengaruh yang menjadikannya seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut rosululloh bertumbuhan bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Mekkah dan Madinah. Peperangan ini berakhir tahun 630 dengan kemenangan pada pihak muslimin, kembali ke Mekkah selaku penakluk. Sisa dua setengah tahun dari hidupnya dia menyaksikan kemajuan luar-biasa dalam hal cepatnya suku-suku Arab memeluk Agama Islam. Dan tatkala rosululloh wafat tahun 632, dia sudah memastikan dirinya selaku penguasa efektif seantero Jazirah Arabia bagian selatan.

B. Kandungan Pendidikan Yang Dapat Dipetik Dari Surat Al-fath Ayat : 29
Di dalam Tafsir Ibnu Kasir di terangkan tentang ayat tersebut bahwa :
يخبر تعالى عن محمد صلوات الله عليه (1) ، أنه رسوله حقا بلا شك ولا ريب، فقال: { مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ } ، وهذا مبتدأ وخبر، وهو مشتمل على كل وصف جميل، ثم ثنى بالثناء على أصحابه فقال: { وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ } ، كما قال تعالى: { فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ } [المائدة : 54] وهذه صفة المؤمنين أن يكون أحدهم شديدا عنيفًا على الكفار، رحيما برًا بالأخيار، غضوبًا عبوسًا في وجه الكافر، ضحوكا بشوشًا في وجه أخيه المؤمن، كما قال تعالى: [التوبة : 123]، وقال النبي صلى الله عليه وسلم: “مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم كمثل الجسد الواحد، إذا اشتكى
Alloh mengabarkan tentang Nabi Muhammad saw, bahwasanya beliau adalah utusanya yang hak tanpa ada keraguan, Alloh berfirman ( مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ) kalimat ini merupakan susunan mubtada’ dan khobar, semua sifat rosululloh sangat bagus, kemudian Alloh memuji para sahabatnya dengan firmanya yang berbunyi :
{ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ }
pujian ini sama seprti firman Alloh dalam surt Al- maidah ayat 54 yang berbunyi :
{ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ{
inilah sifat seorang mu’min yang mempunyai sifat keras dan bengis terhadap orang kafir, pengasih dan berbuat kebaikan kepada orang yang suka berbuat baik, dan menunjukan wajah yang marah dan cemberut terhadap orang kafir, dan murah senyum dan wajah yang ramah terhadap orang muslim itu sendiri, seperti diterangkan dalam firman Alloh :
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً }

Dan rosululoh bersabda:
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم كمثل الجسد الواحد، إذا اشتكى
Budi Luhur Rosululloh Terhadap Orang Muslim
a. Beliau adalah seorang yang peramah, sopan santun dan tenang
Beliau adalah seorang yang pengasih, penyayang kepada sesama, murah hati dan suka memberikan pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan, akibat kemurahan hari beliau, kerap kali beliau menanggung kesusahan orang yang sedang menderita susah dan mengalahkan kepentingan diri sendiri asalkan kesusahan orang lain dalam kebenaran.
Beliau adalah orang yang sabar, tahan uji dan berani menderita, beliau adalah orang yang tabah hati, tahan marah, dan tahan dendam jika kebetulan marah, tidak ada tanda-tandanya, melainkan kerut urat yang berdiri diantara bulu – bulu keningnya, memang beliau adalah seorang yang lapang dada, dapat mengendalikan dan menahan kemarahan hatinya.
b. Beliau adalah orang yang terkenal jujur, bisa di percaya,
Berliau jujur dalam perkatan dan jujur dalam perbuatan serta sangat jauh dari sifat pendusta atau pembohong karenanya sejak muda sudah terkenal dengan nama al amin ( yang di percaya )
c. Beliau suka menghormati yang lebih tua dan mengasihi yang lebih muda dan beliau orang yang berterima kasih, suka membalas jasa dan tahu membalas jasa.

makalah filsafat pendidikan


Ø  PENGERTIAN FILSAFAT DAN  FILSAFAT PENDIDIKAN
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. 
Filsafat Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Ciri-ciri berfikir filosfi :
  1. Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
  2. Berfikir secara sistematis.
  3. Menyusun suatu skema konsepsi, dan
  4. Menyeluruh.

Beberapa ajaran filsafat yang  telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:
Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi.

Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.
Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :
  1. Sebagai dasar dalam bertindak.
  2. Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.
  3. Untuk mengurangi salah paham dan konflik.
  4. Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.

Beberapa aliran filsafat pendidikan;
  • Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
  • Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan
  • Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
  • Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam keBudayaan.
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan.
Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
  • Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)
  • Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)
  • Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas) .

Ø  KEBUTUHAN AKAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Tujuan proses perkembangan itu secara alamiah adalah kedewasaan, sebab potensi manusia yang paling alamiah adalah bertumbuh menuju tingkat kedewanaan, kematangan. Potensi ini akan dapat terwujud apabila prakondisi almiah dan sosial manusia bersangkutan memungkinkan untuk perkembangan tersebut, misalnya iklim, makanan, kesehatan, dan keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedewasaan yang bagaimanakah yang diinginkan dicapai oleh manusia, apakah kedewasaan biologis-jasmaniah, atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa), atau moral (tanggung jawab dan kesadaran normatif), atau kesemuanya.
Persoalan ini adalah persoalan yang amat mendasar, yang berkaitan langsung dengan sisitem nilai dan standar normatis sebuah masyarakat (Noor, 196). Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu dari aspek kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan menerima pendidikan.

            Oleh karena itu pendidikan memerlukan filsafat. Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan uncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalmaan maupun fakta faktual, dan tidak memeungkinkan untuk dijangkau oleh ilmu. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan.
Hubungan antar filsafat dengan pendidikan adalah, filsafat menelaah suatu realitas dengan luas dan menyeluruh, sesuai dengan karateristik filsafay yang radikal, sistematis, dan menyeluruh. Konsep tentang dunia dan tujuan hidup manusia yang merupakan hasil dari studi filsafat, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan. Nantinya bangun sistem pendidikan dan praktek pendidikan akan dilaksanaka berorientasi kepada tujuan pendidikan ini. Brubacher (1950) (Sadulloh, 2003) mengemukakan hubungan antar filsafat dengan filsafat pendidikan: bahwa filsafat tidak hanya melahirkan ilmu atau pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Bahkan Jhon Dewey berpendapat bahwa filsafat adalah teori umum pendidikan
Filsafat pendidikan tidak hanya terbatas pada fakta faktual, tetapi filsafat pendidikan harus sampai pada penyelasian tuntas tentang baik dan buruk, tentang persyaratan hidup sempurna, tentang bentuk kehidupan individual maupun kehidupan sosial yang baik dan sempurna. Ini berarti pendidikan adalah pendidikan adalah pelaksanaan dari ide-ide filsafat. Dengan kata lain filsafat memberikan asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas penyelengaraan pendidikan. Jadi peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan.

Ø  PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan..
Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula
Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik). Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata.artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA

Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New York..
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Balai Pustaka, Jakarta.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. PT Bayu Indra Grafika, Yogyakarta
Pengantar Filsafat Pendidikan
Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd.ALFABETA Bandung (2007)Oleh Yusufhadi MiarsoMakalah disampaikan dalam Seminar Penelitian IBII, Jakarta 24 Mei 2005





Ijma dan Qiyas



Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan  tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh  adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai  dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad. 
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:"كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟"، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟"قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟"قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:"الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.

Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan. Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.
Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر   berarti berupaya di atasnya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti  yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
            Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
  1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
  2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
  3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
  4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.   
Syarat Mujtahid
            Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
        Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.   
Kehujjahan Ijma’
            Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).  
Qiyas
          Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
            Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90) 
            Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram. 
            Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
  1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
  2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
  3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Kehujjahan Qiyas
            Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum  qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. 
            Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: 
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
            Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
            Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
            Sementara diantara dalil sunnah  mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
            Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.
            Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
            Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah. 
Rukun Qiyas
            Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
  1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
  2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
  3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
  4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.       
Wallahu A’lam.
Disampaikan pada kajian keislaman YISC Al-Azhar hari Ahad, tanggal 30 Maret 2008.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) hal 21-22.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
Lihat, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hal 305.
Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hal 96.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 402.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 469.
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 45-46.
Lebih lanjut lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476.
Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 46-47.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173.
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597.
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 58.
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 60. Lebih lanjut lihat hal 60-78